RSS Feed

BENCANA DAN KARAKTERISTIK WILAYAH YOGYAKARTA

Posted on

Septian Vienastra, S.Si., M.Eng
vienastra@ugm.ac.id
@vienastra

Secara umum, Indonesia dilalui oleh Lempeng Eurasia, Australia dan Pasifik yang selalu bergerak. Pertemuan antar lempeng itu dalam jangka panjang akan menghimpun energi. Pada saat energi itu dilepaskan, maka terjadilah gempa bumi dengan atau tanpa potensi tsunami. Tidak terkecuali di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Aktivitas tersebut dicerminkan oleh sebaran pusat gempa bumi baik di darat maupun di lautan. Gempa bumi dangkal berkekuatan lebih besar atau sama dengan 6 Skala Richter berpeluang besar terjadi di perairan selatan Pulau Jawa, sedangkan gempabumi berkekuatan lebih atau sama dengan 7 Skala Richter dapat terjadi di lantai Samudera Hindia. Pada 27 Mei 2006, gempa bumi besar berkekuatan 5,9 skala Richter mengakibatkan kerusakan yang besar terhadap daerah ini dan kematian sedikitnya 3.000 penduduk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, negara kita juga memiliki sekitar 250 lebih gunungapi aktif yang pada saat-saat tertentu dalam meletus dan menimbulkan bencana (Munawar, 2008)

Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan wilayah yang tergolong kompleks jika ditinjau dari aspek fisiknya. Kondisi geomorfologi dan geologinya cukup beragam. Wilayah DIY memiliki 8 bentuklahan, yaitu bentukan asal volkanik, fluvial, marin, denudasional, solusional, struktural, aeoline, dan antropogenik. Hal tersebut tentunya juga berpengaruh kepada kondisi hidrologinya. Wilayah DIY yang terbagi menjadi empat kabupaten dan satu kota memiliki ciri khas masing-masing pada daerah tersebut, baik dalam proses alam yang terjadi maupun respon dari masyarakat dan kehidupan sosialnya.

1.    Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta memiliki kerawanan bencana terhadap potensi bencana letusan gunungapi meskipun resikonya tidak sebesar Kabupaten Sleman. Gunung Merapi merupakan gunung paling aktif di dunia. Apabila aktivitas vulkanologi Gunung Merapi semakin meningkat dan terjadi gempa bumi, dalam beberapa tahun ke depan pemerintah harus mengantisipasi dalam hal pembangunan terkait dengan dampak yang ditimbulkan dari kedua aktivitas tersebut (Suprapto, 2007).

Gambar 1. Banjir Lahar Dingin Sungai Code pada 3 Desember 2010 (www.jongjava.com)

Kota Yogyakarta, selain memiliki kerawanan bencana terhadap potensi bencana letusan gunungapi, juga berpotensi terhadap bencana banjir. Bencana tersebut tidak separah banjir yang melanda Jakarta ataupun Semarang. Beberapa sungai yang melewati Kota Yogyakarta, yaitu Sungai Winongo, Sungai Code, Sungai Gajah Wong. Pada musim hujan berpotensi menimbulkan banjir dan tanah longsor di daerah aliran sungai. Bencana longsor dan banjir mengancam kehidupan masyarakat di bantaran sungai. Sempitnya wilayah dan tingginya kebutuhan ruang hidup akibat semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk khususnya penduduk urban, berpotensi adanya permukiman liar di lahan yang seharusnya bukan untuk tempat tinggal. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa beberapa bantaran sungai telah dipadati permukiman penduduk, padahal bencana banjir dan tanah longsor mengancam keselamatan mereka.

Bahaya banjir tidak hanya berupa banjir dari meluapnya air sungai, namun juga adanya banjir lahar dingin. Hal ini terjadi karena keberadaan Gunung Merapi sebagai hulu dari sungai-sungai tersebut yang masih aktif dan terus mengeluarkan material, terlebih jika sedang fase erupsi. Banjir lahar dingin dapat diartikan sebagai banjir yang diakibatkan oleh gugurnya atau hanyutnya lahar dingin yang mengendap di kubah gunung, sebagai akibat dari hujan yang terjadi di wilayah gunung tersebut. Endapan lahar yang masih ada di sekitar gunung akan hanyut dan mengalir melalui sungai dan berdampak pada penduduk yang berada sepanjang bantaran sungai. Banyak rumah yang rusak atau hanyut terkena terjangan banjir lahar dingin tersebut.

Gambar 2. Polusi Udara dari Asap Kendaraan Bermotor (Septian, 2010)

Potensi bencana yang lain yaitu degradasi lingkungan. Masalah kualitas air di kota Yogyakarta semakin menurun. Kondisi ini lebih popular dengan istilah pencemaran air. Hal ini diakibatkan dari hasil dari buangan limbah industri dan rumah tangga yang tidak mengindahkan aturan pembuangan. Tidak hanya pencemaran air saja, pencemaran yang terjadi di kota ini sudah merambat ke pencemaran udara dan tanah. Pada umumnya, pencemaran udara lebih diakibatkan karena polusi kendaraan bermotor. Jumlah kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat. Pencemaran tanah terkait dengan pencemaran air karena sumber pencemarnya biasanya sama, hanya saja pencemaran tanah terjadi setelah adanya proses pengendapan dari pencemaran air. Sebagai contoh air sungai yang meluap ke bantaran sungai di mana air sungai tersebut sudah tercemar dan akhirnya mengendap di bantaran tersebut.

2. Kabupaten Sleman

Bencana yang paling berpotensi terjadi di Kabupaten Sleman adalah Bencana Letusan Gunungapi dan Banjir Lahar Dingin dari Gunung Merapi. Tidak seperti di Kota Yogyakarta, di Kabupaten Sleman resiko terhadap bencana gunungapi lebih besar dikarenakan secara geografis Gunung Merapi berada di Kabupaten Sleman. Semakin ke selatan, resiko dan dampak dari bencana relatif semakin kecil (jika cakupan wilayah analisisnya adalah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Letusan Gunung Merapi tahun 1994 merupakan letusan yang terbesar di era tahun 1990-an dengan banyaknya korban yang berjatuhan dan harta benda yang lenyap diterjang awan panas. Gunung Merapi terakhir kali meletus pada 26 Oktober 2010 dan 5 November 2010. Akibat dari letusan tersebut, beberapa daerah sekitar Merapi mengalami hujan debu dan pasir.

Pasca erupsi November 2010 Gunung Merapi masih memiliki bahaya sekunder yaitu banjir lahar dingin. Daerah terjangan banjir lahar dingin terus meluas. Di kawasan Sleman, wilayah yang tertimbun material pasir dan batu tidak hanya di sisi timur dan tengah,kawasan barat yang semula aman juga terkena dampaknya. Di bantaran Sungai Progo, tepatnya di Desa Sedang Agung, Kecamatan Minggir, Sleman, material Gunung Merapi telah menimbun lahan di kanan dan kiri sungai tersebut. Selain mengancam permukiman dan lahan sekitar bantaran sungai yang berhulu di lereng Merapi, banjir lahar dingin juga mengancam keberadaan Candi Prambanan. Wilayah Candi Prambanan berjarak sekitar 25 km dari puncak Gunung Merapi dan sekitar 100 meter dari Sungai Opak. Jika kembali terjadi hujan lebat di puncak Merapi, Sungai Opak dipastikan akan mengalirkan material volkanik. Saat ini material volkanik berupa pasir, kerikil, dan batu-batu besar,masih berada di hulu sungai tersebut. Banjir lahar dingin dapat menghanyutkan puluhan rumah dan memutus akses transportasi, misalnya jalan raya dari Magelang ke Yogyakarta.

Gambar 3. Erupsi Merapi 5 November 2010 dan Hujan Debu-Pasir (www.boston.com)

Berdasarkan aspek geomorfologis, kabupaten ini merupakan bentukan lereng atas hingga lereng bawah di mana perkembangan sungainya masih cenderung tererosi secara vertikal dan debit alirannya masih tergolong kecil, sehingga banjir akan sulit terjadi. Penggunaanlahan di daerah volkan pada lereng tengah sampai lereng bawah biasanya dimanfaatkan untuk persawahan, sedangkan pada lereng tengah sampai lereng atas sangat terbatas pemanfaatannya. Daerah ini hanya sesuai untuk hutan lindung atau cagar alam. Namun pada kenyataannya tidak demikian, justru orang-orang lebih senang membangun rumah atau villa di daerah yang seharusnya dimanfaatkan untuk daerah resapan ini. Tidak mengherankan bila suatu saat di daerah dataran kaki gunungapi sering terjadi banjir karena infiltrasi tidak terjadi, lahan sudah tertutup bangunan, air dari lereng gunung menjadi limpasan. Selain itu, pada daerah dataran kaki gunungapi, tinggi muka airtanahnya juga menurun karena pemompaan yang berlebihan pada kawasan resapan (recharge area).

3. Kabupaten Gunung Kidul

Pada dasarnya, Kabupaten Gunung Kidul memiliki bencana tahunan, yaitu kekeringan. Karakteristik yang tersusun dari batugamping menyebabkan cadangan air tersimpan dalam tanah yang cukup dalam. Sesuatu hal yang sangat sulit untuk menemukan air permukaan di daerah karst karena memang kondisi batuan yang berupa karbonat yang memilki karakteristik mudah meloloskan air. Telaga sebagai salah satu alternatif yang dibuat masyarakat pada daerah karst untuk penampung air hujan. Cekungan tersebut mentransfer sejumlah besar air permukaan menjadi air bawah tanah. Air bawah tanah merembes melalui celah-celah  (cracks) menurut kemiringan lapisan batuan (dip) hingga menjadi aliran air bawah tanah. Aliran air ini berfluktuasi menurut musim  dan mengalir melalui sesar, retakan, kekar dan atau celah antar bidang lapisan. Cadangan air sebenarnya sangat banyak, namun tersimpan jauh di bawah dari permukaan tanah. Beberapa cara sudah dicoba pemerintah setempat, diantaranya dengan memompa Sungai Bribin. Pemompaan ini dimaksudkan agar penduduk setempat tidak perlu mencari sumber air dengan jarak yang cukup jauh.

Gambar 4. Telaga saat Musim Kemarau (www.beritahabitat.net)

Telaga di desa Giri Suko Kecamatan panggang Gunung Kidul adalah salah satu telaga yang mengering airnya akibat kemarau berkepanjangan, seperti yang terlihat pada Gambar 4. Warga desa harus rela berjalan puluhan kilometer untuk mendapatkan air di desa sebelah atau rela mengeluarkan biaya untuk membeli air dari agen air. Harga air yang mencapai 120 ribu per tangki yang bisa dibeli di agen air dirasa warga setempat cukup mahal.

4. Kabupaten Bantul

Kabupaten Bantul membentuk sebuah cekungan atau basin airtanah regional, yaitu Sistem Akuifer Merapi hingga Sistem Akuifer Kepesisiran. Relief dari daerah ini relatif datar yang terbentuk oleh akibat adanya proses erosi  di daerah hinterland dan sedimentasi di dataran aluvial kepesisiran (coastal alluvial plain). Berdasarkan karakteristik tersebut, maka potensi bencana yang mungkin terjadi adalah bencana banjir. Banjir di Kabupaten Bantul pada umumnya terjadi di sungai-sungai besar, salah satunya Sungai Opak. Sungai ini mudah meluap karena mendapat input dari Sungai Oyo. Salah satu daerah yang sering dibanjiri yaitu di Kecamatan Kretek, Bantul.

Gambar 5. Sungai Opak di Kecamatan Kretek, Bantul (Septian, 2009)

Saat musim penghujan, sedimen yang dibawa lebih banyak berasal dari Sungai Oyo. Hal ini dikarenakan jarak yang ditempuh oleh sedimen yang terangkut aliran Sungai Oyo lebih jauh dan melewati beberapa bentuklahan sekaligus dengan material penyusun yang berbeda-beda. Sungai Oyo juga mengalir di kawasan perbukitan karst, Kabupaten Gunung Kidul dan bentukan struktural di perbatasan antara Kabupaten Bantul dengan Kabupaten Gunung Kidul. Kondisi tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa banjir yang terjadi pada umumnya hasil dari luapan Sungai Opak. Sungai ini mengalir dari formasi batuan yang sama, yaitu Formasi Endapan Gunungapi Merapi Muda.

Gambar 6. Kenampakan Rip Current (www.noaa.gov)

Bencana alam yang ditimbulkan berasal dari lautan di selatan Kabupaten Bantul, yaitu Samudra Hindia. Kabupaten Bantul memiliki karakteristik pantai yang perlu diwaspadai. Sebagian besar bibir pantainya menjorok ke daratan. Jika ada arus balik yang menuju ke laut, dimungkinkan terjadi arus balik yang cukup kuat (rip current). Kenampakan rip current (yang diberi tanda anak panah) secara umum di lapangan ditampilkan pada Gambar 6.

Perairan Pantai Yogyakarta termasuk kategori perairan terbuka (open sea) dengan horizon pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Oleh karena itu energi gelombang menuju pantai sangat berpengaruh terhadap dinamika pantai di daerah tersebut. Energi gelombang selain menimbulkan abrasi, juga berfungsi sebagai komponen pembangkit arus sejajar pantai (longshore current) yang dapat menyebabkan sedimentasi di daerah-daerah tertentu. Selain itu, jika terjadi bencana tsunami aliran air akan terkonsentrasi dan mengalir secara cepat ke arah utara. Adanya beberapa bukit kecil dapat difungsikan sebagi penghalang untuk mencegah aliran tsunami.

5. Kabupaten Kulon Progo

Secara geologis kabupaten ini tersusun dari enam formasi batuan, yaitu Koluvium (Qc), Formasi Endapan Gunungapi Merapi Muda (Qmi), Formasi Andesit Tua (Tmoa), Formasi Nanggulan (Teon), Formasi Sentolo (Tmps) dan Formasi Jonggrangan (Tmj). Dengan adanya berbagai macam batuan penyusun tersebut, maka berpengaruh terhadap geomorfologisnya. Secara umum, Kabupaten Kulon Progo memiliki kerawanan terhadap beberapa bencana, seperti tanah longsor di bagian utara, kekeringan di bagian tengah dan banjir di bagian selatan. Pada daerah yang tersusun oleh endapan koluvium dan Andesit Tua, dapat dipastikan daerah tersebut mengalami proses penelanjangan (denudasi). Daerah tersebut merupakan suatu perbukitan (Gambar 7).

Gambar 7. Perbukitan Andesit di Kecamatan Girimulyo (Septian, 2008)

Hal ini dikarenakan formasi tersebut merupakan hasil kegiatan gunungapi purba yaitu gunungapi Gajah, Ijo, dan Menoreh. Perbukitan Menoreh berada di bagian barat laut wilayah kabupaten ini, dengan puncaknya Gunung Gajah (828 meter dpal), di perbatasan dengan Kabupaten Purworejo. Proses yang terjadi berupa pelapukan, erosi dan rayapan tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari keadaan tanahnya yang tidak stabil, banyak ditemukan bekas erosi dan ada tanah yang terlihat batuan dasarnya. Bahkan di beberapa tempat sering terjadi tanah longsor dengan intensitas yang bervariasi.

Formasi Jonggrangan membentuk suatu bentukan karst. Formasi ini berada diatas formasi batuan breksi yang terkontrol oleh struktur kekar. Kabupaten Kulon Progo juga berpotensi mengalami bencana kekeringan meskipun tidak separah di Kabupaten Gunung Kidul. Hal ini terkait dengan proses struktural yang berada di kabupaten tersebut. Batuan yang mengalami dikontrol oleh proses struktural hanya akan mengalirkan air pada celah atau retakan saja. Secara umum, air yang mengalir dari celah tersebut debitnya tidak besar dan penduduk harus mencari alternatif sumber air. Air yang keluar dari tempat tersebut biasa dinamakan rembesan atau mataair jika debitnya besar. Mataair yang terkenal di Kabupaten Kulon Progo yaitu mataair Kenteng dan Sumitro yang berada di Formasi Jonggrangan.

Pantai yang ada di Kabupaten Kulon Progo adalah Pantai Congot, Pantai Glagah dan Pantai Trisik. Daerah kepesisiran juga berpotensi terkena dampak tsunami. Kondisi pantainya tidak jauh berbeda dengan pantai-pantai di Kabupaten Bantul. Daerah kepesisiran juga berpotensi terjadinya banjir. Selain disebabkan faktor topografi, di wilayah selatan Kabupaten Kulon Progo menjadi hilir dari Sungai Progo. Seperti yang diketahui, Sungai Progo merupakan sungai yang mengalir sepanjang tahun dan memiliki debit yang besar sekalipun di musim kemarau. Sungai Progo mendapat input dari sungai-sungai lainnya. Salah satunya yaitu Sungai Kayangan. Pertemuan kedua sungai tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Pertemuan Sungai Progo dan Sungai Kayangan (Septian, 2008)

Sumber:

Bregas al-Wanaghiry, Sarjono. 2007. Sekilas tentang Manajemen (Resiko) Bencana. http://www.peduli-bencana.or.id.

Dibyosaputro, Suprapto. 2007. Survei dan Geomorfologi untuk Pemetaan Bahaya Gunungapi. Fakultas Geografi, UGM.

Munawar. 2008. Indonesia Negeri Sejuta Bencana. Blog Munawar.

Munawar. 2009. Pengertian dan Istilah-Istilah Bencana Alam. Blog Munawar.

Oemarmad, Sarwedi. 2005.  Pendidikan dan Mitigasi Bencana Alam. Pendidikan Network.

Wiriawan, Seta. 2007. Pengertian Bencana Alam. Blog Seta.

Yudhicara, A. Yuningsih, A. Mustafa, N.A. Kristanto dan Y. Noviadi. 2009. Potensi Kebencanaan Geologi di Kawasan Pesisir Selatan D.I. Yogyakarta. Puslitbang Geologi Kelautan

About Vienastra

Golden Boy

6 responses »

  1. pak, nek manggung kondisi geografi ny piye???

    Reply
  2. Gagal Pertamax :nohope:

    tapi gpp deh, yang fenting pejwan 😎

    Reply
  3. wah manteb ne web e mas septi,
    sukses mas dab

    Reply

Leave a comment